Imunodefisiensi atau defisiensi imun adalah kondisi dimana sistem imun seseorang mengalami keterbatasan atau kegagalan dalam melindungi tubuh dari bakteri dan virus sehingga tubuh lebih rentan terinfeksi. Nyatanya, 1 dari 2000 anak berusia kurang dari 18 tahun diperkirakan memiliki imunodefisiensi primer, dan anak berusia 1-5 tahun merupakan populasi paling umum untuk memiliki imunodefisiensi primer. Maka dari itu, deteksi imunodefisiensi secara cepat dan akurat penting diperhatikan bagi kesehatan anak.

Kesulitan dalam bertumbuh kembang, terdapat riwayat imunodefisiensi di keluarga, menderita infeksi yang berulang kali dan bertambah parah serta menderita infeksi di beberapa lokasi merupakan beberapa gejala dari imunodefisiensi primer.1 Namun, meskipun gejala-gejala yang dialami anak dapat bersifat mengkhawatirkan, langkah baiknya untuk tidak segera menarik kesimpulan begitu anak mengalami infeksi.

Penting untuk membedakan infeksi pada anak yang memiliki fungsi imun normal dengan infeksi yang diakibatkan oleh imunodefisiensi. Apabila anak mengalami infeksi berulang namun hanya pada satu lokasi, kecenderungan untuk mengidap imunodefisiensi rendah. Sementara itu, imunodefisiensi primer dapat dipertimbangkan apabila anak mengalami infeksi di beberapa lokasi atau organ tubuh.

Pada bayi dan balita, imunodefisiensi primer merupakan jenis imunodefisiensi yang paling umum terjadi, dimana prediktor utama kondisi defisiensi imun tersebut diakibatkan oleh bawaan lahir, gen dan/atau riwayat anggota keluarga yang juga mengalami imunodefisiensi.2

Pada bayi dan balita, beberapa gejala dan tanda umum yang harus diperhatikan dan bisa menandakan imunodefisiensi primer adalah:1,3

  1. Riwayat: Adanya riwayat anggota keluarga yang pernah mengalami penyakit imunodefisiensi.
  2. Multi-lokasi: Infeksi pada lebih dari satu lokasi (telinga, sinus, paru-paru dan/atau diare merupakan gejala paling umum pada anak) yang berulang akibat bakteri atau virus.
  3. Berulang: Reaksi infeksi serius yang disebabkan oleh bakteri atau virus yang cenderung umum secara berulang.
  4. Bertambah: Bertambahnya frekuensi dan intensitas infeksi seiring bertambahnya usia.
  5. Sulit tumbuh: Terhambatnya pertumbuhan atau tumbuh kembangnya anak.
  6. Sepsis: Adanya diagnosis sepsis yang kemudian ditangani menggunakan antibiotik yang diadministrasikan secara intravena atau langsung ke pembuluh darah (suntik).

Apabila memiliki keraguan akan gejala yang dialami oleh anak dan jika anak anda mengalami infeksi berulang yang tidak kunjung mengurang, jangan enggan untuk menghubungi klinisi atau tenaga medis profesional agar dapat mengetahui lebih lanjut mengenai imunodefisiensi primer pada bayi dan balita. Diagnosis yang sigap dan penanganan yang akurat terhadap imunodefisiensi primer dapat mencegah infeksi yang bisa menimbulkan kondisi yang lebih serius di kemudian harinya. 

Diskusi lanjut dengan Dokter Imun

Jadwal konsultasi praktek Dr. dr. Stevent Sumantri, DAA, SpPD, K-AI dapat dilihat pada link ini. Untuk informasi lebih lanjut, bisa komentar dan bertanya di kolom diskusi dibawah ini, atau isi form kontak untuk berdiskusi via email kepada Dr. dr. Stevent Sumantri, DAA, SpPD, K-AI secara langsung. Follow akun twitter saya di @dokterimun_id, Instagram di @dokterimun.id atau facebook page di Dokter Imun untuk mendapatkan informasi terbaru dan berdiskusi tentang masalah autoimun, alergi, asma, HIV-AIDS dan vaksinasi dewasa. Jangan lupa juga dengarkan podcast Bina Imun untuk mendengarkan rekaman terkini membahas mengenai imunitas, bisa didengarkan di Spotify, Apple Podcast dan Google Podcast.

Salam sehat bermanfaat,

Joshua Benedict Hukom, S. Ked
Rashmeeta, S. Ked
Dr. dr. Stevent Sumantri, DAA, SpPD, K-AI

Referensi

  1. Subbarayan A, Colarusso G, et al. Clinical features that identify children with primar immunedeficiency diseases. Pediatrics. 2011;127(5):810-816
  2. Carin E, et al. Evaluation of Primary Immunodeficiency Disease in Children. Am Fam Physician. 2013, 87(11):773-778
  3. Vries E, Driessen G. Educational paper: primary immunodeficiencies in children: a diagnostic challenge. Eur J Pediatr. 2011;170(2):169-177