Dermatitis alergi atau yang lebih dikenal sebagai eksim adalah suatu jenis peradangan pada kulit yang ditandai dengan kulit yang kering, gatal secara terus menerus dan menimbulkan ruam merah di kulit, akibat paparan zat tertentu sehingga mengakibatkan iritasi atau reaksi alergi pada kulit. 

Hal yang perlu diperhatikan pada pengobatan dermatitis alergi adalah upaya pencegahan dari kejadian dermatitis alergi berulang, sehingga tujuan utama dari pengobatan pada kasus dermatitis alergi adalah mengidentifikasi senyawa alergen dan menghindari paparan terhadap dengan senyawa alergen tersebut.1,2 Tujuan ini dapat tercapai dengan pemberian konseling yang menyeluruh pada pasien. Penting sekali untuk mengetahui senyawa alergen yang mencetuskan dermatitis alergi sehingga pasien dapat diminta untuk menghindari dan mengganti produk yang mengandung senyawa alergen. Jika pasien diharuskan untuk terpapar dengan alergen, seperti pada pekerjaan, maka pasien diminta untuk menggunakan alat pelindung diri yang memadai, seperti sarung tangan maupun masker. Selain itu, pasien juga disarankan untuk mengurangi gesekan, menghindari pemakaian parfum dan zat pewarna pada area kulit yang sedang bereaksi alergi.2,3 

Selain pencegahan, pengobatan lini pertama pada kasus dermatitis alergi flare akut adalah kortikosteroid topikal. Penggunaan kortikosteroid topikal perlu diberikan selama 2 hingga 3 minggu untuk mencegah rebound atau kejadian berulang. Pemakaian kortikosteroid jangka panjang harus dibatasi karena potensi efek samping yang beragam. Kortikosteroid yang digunakan umumnya berada pada kelas II atau III seperti mometasone furoate dan betamethasone. Pengobatan kortikosteroid topikal dengan potensi tinggi tidak diberikan pada lapisan kulit yang tipis, seperti pada area wajah dan genital untuk mencegah atrofi pada kulit, sehingga lebih digunakan steroid topikal potensi rendah seperti salep desonide.2,3  

Pada area kulit yang tipis, pemberian inhibitor calcineurin topikal (tacrolimus, pimecrolimus) dapat menjadi pilihan regimen untuk terapi jangka panjang setelah pemberian steroid dalam jangka pendek untuk mengurangi proses inflamasi. Obat golongan ini tidak menyebabkan atrofi pada kulit dan terbukti dapat mengurangi inflamasi kronis pada kasus dermatitis alergi. Pemberian pimecrolimus krim 1% dan tacrolimus 0,03% atau 0,1% diketahui dapat menghambat aktivasi sel darah putih sehingga menghambat progresivitas dermatitis alergi. Kedua obat ini juga dapat menghambat produksi dan aktivasi sitokin inflamasi sehingga memiliki efek anti-gatal serta dapat mengurangi gejala rasa terbakar pada pasien. Kemudian, untuk mengurangi gejala gatal, dapat juga diberikan obat golongan anti histamin. Selain itu, pasien juga dapat diberikan pelembab kulit untuk mencegah kulit kering akibat proses inflamasi.3,4 

Pada kasus dermatitis alergi derajat berat atau erupsi yang meluas, yaitu yang melibatkan lebih dari 20% permukaan tubuh, dapat diberikan kortikosteroid oral, yaitu prednisone selama 3 minggu. Selain itu, obat golongan retinoid sistemik seperti alitrenoin juga memiliki efektifitas tinggi untuk menangani eksim yang disebabkan oleh dermatitis alergi. Pada kasus dermatitis alergi kronis, dapat dilakukan pemberian fototerapi UV-B atau psoralen yang disertai dengan sinar UV-A diketahui dapat memberikan hasil yang baik. Kontraindikasi pemberian fototerapi adalah pada pasien dengan fotosensitivitas serta riwayat kanker kulit.3 Diharapkan untuk konsultasi dengan dokter terlebih dahulu jika menemukan gejala dermatitis alergi sehingga mendapatkan pengobatan yang benar. 

Diskusi lanjut dengan Dokter Imun

Jadwal konsultasi praktek Dr. dr. Stevent Sumantri, DAA, SpPD, K-AI dapat dilihat pada link ini. Untuk informasi lebih lanjut, bisa komentar dan bertanya di kolom diskusi dibawah ini, atau isi form kontak untuk berdiskusi via email kepada Dr. dr. Stevent Sumantri, DAA, SpPD, K-AI secara langsung. Follow akun twitter saya di @dokterimun_id, Instagram di @dokterimun.id atau facebook page di Dokter Imun untuk mendapatkan informasi terbaru dan berdiskusi tentang masalah autoimun, alergi, asma, HIV-AIDS dan vaksinasi dewasa. Jangan lupa juga dengarkan podcast Bina Imun untuk mendengarkan rekaman terkini membahas mengenai imunitas, bisa didengarkan di Spotify, Apple Podcast dan Google Podcast.

Salam sehat bermanfaat, 

Kania Metta Susanto, S. Ked; Rashmeeta, S. Ked 

Dr. dr. Stevent Sumantri, DAA, SpPD, K-AI 

Referensi 

  1. Sularsito SA, Djuanda S. Dermatitis Kontak Alergik. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin Edisi Ketujuh. Badan Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: 2015. Hal. 133-138. 
  1. Turrentine JE, Sheehan MP, Cruz Jr PD. Allergic Contact Dermatitis. In: Kang S, Amagai M, Bruckner AL, Enk A, Margolis DJ, McMichael AJ, et al. Fitzpatrick’s Dermatology. 9th ed. New York: McGraw Hill Education; 2019. p. 395-413. 
  1. Kostner L, Anzengruber F, Guillod C, Recher M, Schmid-Grendelmeier P, Navarini AA. Allergic Contact Dermatitis. Immunology and Allergy Clinics of North America. 2017;37(1):141–52. 
  1. Usatine RP, Riojas M. Diagnosis and Management of Contact Dermatitis. American Family Physician. 2010;82(3):249–55.