Konjungtivitis alergi merupakan salah satu bentuk proses inflamasi kronik dan berulang pada mata & umumnya bersifat bilateral. Pasien dengan riwayat atopi mempunyai risiko lebih besar untuk menderita konjungtivitis alergi. Gejala yang sering ditemui pada pasien adalah mata terasa gatal, terlihat merah. Saat pagi hari terdapat banyak kotoran mata yang kental dan lengket.1 Sejauh ini belum ada terapi baku emas dan algoritma untuk konjungtivits alergi, tetapi banyak pilihan obat-obatan yang dapat digunakan dan dapat disesuaikan pada setiap individu.

Obat-obatan yang sering digunakan antara lain penstabil sel mast, antihistamin dan pada kasus yang lebih berat dapat diberikan kortikosteroid. Penstabil sel mast dapat mencegah pelepasan sel mast dengan menghambat pompa kalsium. Selain itu penstabil sel mast juga bekerja dalam sel peradangan. Obat yang sering digunakan dalam golongan ini antara lain sodium cromolyn 4% dan lodoxamide 0.1%, dimana loxodamide terbukti dapat mengurangi gejala alergi lebih baik dibandingkan sodium cromolyn. Obat ini dapat digunakan 4-6x dalam 1 hari dan dapat digunakan sampai 2 minggu. Efek samping dari lodoxamide dapat menyebabkan rasa terbakar/pedih pada mata, kemerahan, sakit kepala, pusing, dan pembengkakan kelopak mata.2

Antihistamin dapat diberikan pada kasus ringan untuk meringankan gejala seperti Lecocabastine 0.05% dan Feniramin Maleat 0.3%. Antihistamin biasa digunakan bersamaan dengan penstabil sel mast, dan sudah terbukti efektif. Antihistamin berkerja dengan menghentikan kerja histamin yang dapat meningkatkan permeabilitas kapiler, meningkatkan pembengkakan dan dilatasi pembuluh darah. Antihistamin juga memiliki efek samping seperti mata menjadi kering.3

Kortikosteroid topikal dapat diberikan jika pemberian antihistamin dan penstabil sel mast tidak memberikan perbaikan pada pasien. Kortikosteroid topikal memiliki efektifitas yang sangat tinggi terutama dalam menekan kejadian kekambuhan. Kortikosteroid bekerja sebagai anti peradangan yaitu menurunkan sirkulasi sel darah putih yang bekerja untuk menciptakan peradangan, sehingga dapat menurunkan gejala yang pasien alami. Kortikosteroid topikal juga memiliki efek samping seperti terbentuknya katarak dan terjadinya glaukoma yang disebabkan oleh peningkatan tekanan bola mata dari penggunaan kortikosteroid topikal. Pemberian obat seperti Fluorometholone 0.1% yang memiliki sifat menembus bola mata dapat mengurangi terjadinya komplikasi. Pemeberian kortikosteroid juga dapat dilakukan dengan terapi “pulse” dengan deksametason topikal 1%, diberikan setiap 2 jam, 8 kali sehari kemudian diturunkan secara bertahap selama 1 minggu, dapat mengobati peradangan pada konjungtivitis.1,3

Siklosporin merupakan penghambat kalsineurin yang berperan untuk menghambat produksi sitokin oleh sel darah putih, selain itu juga menghambat efek dari eosinofil (salah satu bentuk sel darah putih) dan aktivasi sel mast. Siklosporin dosis rendah juga dapat menjadi alternatif dari koritkosteroid topikal karena memiliki efek samping yang cukup ringan, seperti rasa terbakar dengan efek samping sistemik yang minimal dan meringankan gejala konjungtivitis. Obat yang umum digunakan adalah siklosporin topikal 0.05% dan 2%. Pada kasus berulang yang tidak dapat diobati dengan sodium cromolyn atau kortikosteroid topikal dapat diberikan Siklosporin topikal 2%.1,2

Obat penghambat kalsineurin lainnya yang berfungsi untuk menghambat aktivasi sel darah putih yang menyebabkan keluarnya sitokin inflamasi yaitu Tacrolimus. Tacrolimus dapat diberikan jika ada keterlibatan pada kornea. Tacrolimus juga menjadi alternatif yang baik untuk pengganti terapi kortikosteroid karena tidak meningkatkan tekanan bola mata. Jenis tacrolimus yang sering digunakan seperti tacrolimus topikal 0.1% dapat membantu mengurangi gejala. Efek samping yang dapat terjadi adalah iritasi ringan pada mata seperti rasa pedih atau rasa terbakar yang dapat hilang dengan sendirinya.2

Hindari mengobati diri tanpa anjuran dari dokter untuk mencegah terjadinya efek yang tidak diinginkan.

Diskusi lanjut dengan Dokter Imun

Jadwal konsultasi praktek Dr. dr. Stevent Sumantri, DAA, SpPD, K-AI dapat dilihat pada link ini. Untuk informasi lebih lanjut, bisa komentar dan bertanya di kolom diskusi dibawah ini, atau isi form kontak untuk berdiskusi via email kepada Dr. dr. Stevent Sumantri, DAA, SpPD, K-AI secara langsung. Follow akun twitter saya di @dokterimun_id, Instagram di @dokterimun.id atau facebook page di Dokter Imun untuk mendapatkan informasi terbaru dan berdiskusi tentang masalah autoimun, alergi, asma, HIV-AIDS dan vaksinasi dewasa. Jangan lupa juga dengarkan podcast Bina Imun untuk mendengarkan rekaman terkini membahas mengenai imunitas, bisa didengarkan di Spotify, Apple Podcast dan Google Podcast.

Salam sehat bermanfaat,

Andreas, S.Ked; Rashmeeta, S.Ked

Dr. dr. Stevent Sumantri, DAA, SpPD, K-AI

Referensi

1. Widyastuti S, Siregar S. Konjungtivitis Vernalis. Sari Pediatri. 2016;5(4):160.        

2. Addis H, Jeng B. Vernal keratoconjunctivitis. Clinical Ophthalmology. 2018; Volume 12:119-123.

3. Vernal Keratoconjunctivitis [Internet]. American Academy of Ophthalmology. 2021