Picture2Tulisan ini dikutip dari Tabloid MD edisi Mei 2015, untuk berlangganan silahkan kirim email ke info@tabloidmd.com

Minggu terakhir di bulan April 2015, diperingati sebagai Pekan Imunisasi Dunia oleh World Health Organization. Peringatan serupa dilakukan pula oleh Ikatan Dokter Anak Indonesia dengan mengadakan simposium media yang membahas berbagai isu imunisasi. Salah satu yang paling menarik perhatian peserta adalah paparan Dr. Piprim Basarah Yanuarso, Sp.A(K), yang merupakan Sekretaris Umum Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia (PP-IDAI), yang membahas isu halal atau haram vaksinasi.

Dr. Piprim memaparkan berbagai data munculnya isu antivaksinasi belakangan ini yang dampaknya semakin luas. “Isu anti vaksinasi banyak dimulai oleh orang-orang yang tidak memahami masalah imunisasi itu sendiri. Bahkan pembicara anti vaksinasi itu kebanyakan tidak memiliki pengetahuan tentang vaksinasi, tidak paham proses pembuatan vaksin, dan juga tidak tahu risiko penolakan imunisasi. Kebanyakan mereka menggunakan asumsi saja dan sumber informasi yang tidak benar, “ paparnya.

Salah satu isu yang paling kuat belakangan ini adalah isu bahwa vaksinasi adalah haram. “Padahal di seluruh dunia, termasuk negara muslim, vaksinasi dilakukan karena paham sekali bahwa ini sangat berdampak bagi kesehatan dan keselamatan manusia,” lanjut Dr.Piprim. Di negara muslim, seperti di Arab Saudi misalnya, ulama membolehkan vaksinasi. Di Indonesia pun sebenarnya Majelis Ulama Indonesia merekomendasikan pemberian vaksinasi.

Masalah Enzim Babi

Salah satu persoalan yang sering dipermasalahkan adalah digunakannya enzim tripsin babi selama pembuatan vaksin. Padahal vaksin yang menggunakan enzim babi sebagai katalisator hanya sebagian kecil. “Banyak orang mengira pembuatan vaksin seperti membuat puyer, bahan-bahan yang ada semua dicampur jadi satu, termasuk yang mengandung babi, dan kemudian digerus menjadi vaksin. Ini persepsi keliru. Bila prosesnya demikian sudah tentu hukum vaksin menjadi haram,” papar salah satu anggota Satgas Imunisasi IDAI ini.

Pembuatan vaksin di era modern ini amat kompleks dan tidak ada proses seperti menggerus puyer. Enzim tripsin babi digunakan sebagai katalisator untuk memecah protein menjadi peptida dan asam amino yang menjadi bahan makanan kuman. Setelah kuman dibiakkan, dilakukan fermentasi dan diambil polisakarida pada dinding selnya sebagai antigen bahan pembentuk vaksin. Selanjutnya dilakukan purifikasi dan ultrafiltrasi yang mencapai pengenceran 1/67,5 milyar kali sampai terbentuk vaksin. Hasil akhir proses sama sekali tidak ada bahan yang mengandung enzim babi. Bahkan antigen vaksin sama sekali tidak bersinggungan dengan enzim babi baik secara langsung maupun tidak.Karenanya, isu vaksin mengandung babi sangat tidak relevan dan isu semacam itu timbul karena persepsi yang keliru tentang pembuatan vaksin.

Kaidah Istihalah dan Istihlak

Selain itu, sebenarnya Majelis Ulama Indonesia sudah mengeluarkan fatwa terhadap vaksin meningitis dan polio oral serta injeksi yang pada proses pembuatannya menggunakan katalisator dari enzim tripsin babi, bahwa vaksin-vaksin tersebut boleh digunakan jika belum ada alternatif lain sebagai penggantinya. Majelis Ulama di Eropa, Negara negara Timur Tengah, dan Amerika bahkan mengeluarkan sertifikat halal untuk beberapa vaksin yang menggunakan enzim babi sebagai katalisator namun pada produk akhir tak dijumpai lagi adanya tripsin babi ini. Kaidah yang digunakan adalah kaidah istihalah dan istihlak. Istihalah adalah hukum transformasi zat yaitu terjadinya perubahan zat dari bentuk awal ke bentuk akhir yang sama sekali berbeda. Istihlak adalah hukum pengenceran luar biasa yang membuat unsur najis bisa terkalahkan oleh unsur yang halal karena banyaknya jumlah zat halal dibanding zat najisnya.

Vaksin tanpa sertifikat halal

Isu lain yang sering dimasalahkan adalah isu vaksin tak bersertifikat halal. “Kaidah yang sebenarnya dalam Islam adalah sebagaimana disebutkan dalam ilmu ushul fiqih: Hukum asal segala sesuatu adalah mubah (halal) sampai ada dalil yang mengharamkannya. Jadi syarat suatu zat disebut halal adalah jika tak ada unsur haram di dalamnya,“ jelas Dr. Piprim. Mengapa demikian? Sebab benda yang halal jumlahnya jauh lebih banyak daripada yang haram. Jika kaidah dibalik menjadi: “Semua benda dianggap haram sampai punya sertifikat halal” maka ini akan sangat menyulitkan dan berlawanan dengan maksud syariat Islam yang sebenarnya.

Hukum Darurat

Di sisi lain hukum obat dan vaksin berbeda dengan hukum makanan dan minuman. Pada makanan dan minuman ada banyak sekali alternatif sehingga dapat dipilih yang halal. Namun untuk obat esensial dan vaksin yang amat penting bagi keselamatan masyarakat berlaku hukum darurat. Jikapun obat dan vaksin tersebut termasuk zat haram namun tak ada alternatif lain sebagai penggantinya, karena kaidah darurat itu maka diperbolehkan yang dilarang. “Andai saja sebagian muslim masih saja menganggap vaksin itu haram, maka berdasar hukum darurat ini vaksin tetap harus diberikan untuk mencegah berjangkitnya wabah penyakit ganas dan berbahaya di masyarakat,” tutup Dr. Piprim dalam penjelasannya.