Alergi obat adalah kejadian yang tidak terprediksi yang terjadi ketika ada reaksi berlebihan sistem imun akibat obat yang dikonsumsi. Alergi obat atau hipersensitivitas terhadap obat termasuk dalam unpredicted adverse drug reaction (ADR) ) atau reaksi adversi obat yang tidak dapat diduga. ADR yang tidak dapat diduga ini merupakan ADR tipe B yang terjadi sekitar 5-10%. Reaksi yang muncul berbeda – beda pada setiap individu karena setiap orang memiliki sistem imun yang berbeda. Efek dan gejala dari alergi obat terjadi dalam waktu satu sampai enam jam setelah mengkonsumsi obat. Gejala yang muncul bisa bervariasi dari ringan seperti bersin – bersin hingga gejala berat seperti syok anafilaksis yang bisa mengancam nyawa. Pasien yang memiliki resiko alergi obat dipengaruhi beberapa faktor seperti usia, genetic, infeksi virus tertentu, frekuensi eksposur obat, cara pemberiaan obat dan berat molekul.1,2

Diagnosis alergi obat bisa dilakukan dengan menanyakan kepada pasien mengenai riwayat penyakit, riwayat konsumsi obat, kesulitan atau gejala yang dicurigai timbul sebagai bentuk alergi obat. Diagnosis alergi obat akan lebih sulit dilakukan jika pasien mengkonsumsi lebih dari satu obat. Terdapat beberapa hal penting yang harus ditanyakan ketika melakukan wawancara pada pasien alergi obat yaitu menanyakan dan mencatat semua obat yang digunakan, riwayat pemakaian obat lama dan reaksi obat, durasi yang dibutuhkan untuk menimbulkan manifestasi alergi setelah menggunakan obat, frekuensi, dosis lama penggunan obat dan cara pemberian obat.1,3

Selain mengetahui riwayat pasien secara lengkap, pemeriksaan fisik juga membantu dalam menegakkan diagnosis alergi obat. Alergi obat menyebabkan manifestasi paling sering pada kulit yaitu lesi maculopapular secara merata, biduran, dan bengkak atau angioedema yang bisa ditemukan saat melakukan pemeriksaan fisik.4 Manifestasi kulit paling berat akibat alergi obat adalah Stevens-Johnson Syndrome (SJS) dan Toxic Epidermal Necrolysis (TEN). SJS biasanya ditandai dengan bintik kemerahan bentuk maculopapular yang akan menjadi bula, ulser pada membrane mukosa, demam, konjungtivitis, sakit tenggorokkan, dan lemah. Manifestasi TEN juga sama seperti SJS tetapi pada TEN juga menyebabkan pelepasan epidermis yaitu lapisan kulit paling luar yang menyebabkan eksfoliasi dari kulit. Selain manifestasi kulit, pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan kelainan pada hati, ginjal, kelainan darah, anafilaksi, vasculitis dan masih banyak lagi.1,5,6 

Pemeriksaan penunjang yang bisa dilakukan untuk membantu diagnosis alergi obat adalah uji tusuk kulit atau skin prick test (SPT) dan tes intradermal dengan penisilin. Uji ini dilakukan untuk mengkonfirmasi adanya antibodi IgE spesifik.  Selain itu, pemeriksaan labotarium seperti pemeriksaan darah lengkap, hitung jenis sel darah putih atau lebih spesifik tingkat basophil juga bisa membantu dalam diagnosis alergi obat.1,2,4 

Pada kasus dimana diagnosis alergi obat masih tidak pasti setelah melakukan banyak investigasi, prosedur desentisasi obat untuk menstimulasi toleransi obat sementara atau bisa dilakukan challenge test atau tes provokasi. Pada tes desensitasi obat akan memodifikasi respon imun dan non-imun pasien melalui pemberian obat dan dipertahankan selama obat diberikan untuk membangun toleransi terhadap obat yang diberikan. Sedangkan pada challenge test tidak merubah respon imun dan non-imun tetap menilai apakah pasien memiliki reaksi obat dengan cara memberikan obat sambal melihat reaksi yang ditimbulkan pada pasien. Tetapi pemeriksaan ini lebih berbahaya dan harus dilakukan oleh kalangan professional dan berpengalaman.1,2

Diskusi lanjut dengan Dokter Imun

Jadwal konsultasi praktek Dr. dr. Stevent Sumantri, DAA, SpPD, K-AI dapat dilihat pada link ini. Untuk informasi lebih lanjut, bisa komentar dan bertanya di kolom diskusi dibawah ini, atau isi form kontak untuk berdiskusi via email kepada Dr. dr. Stevent Sumantri, DAA, SpPD, K-AI secara langsung. Follow akun twitter saya di @dokterimun_id, Instagram di @dokterimun.id atau facebook page di Dokter Imun untuk mendapatkan informasi terbaru dan berdiskusi tentang masalah autoimun, alergi, asma, HIV-AIDS dan vaksinasi dewasa. Jangan lupa juga dengarkan podcast Bina Imun untuk mendengarkan rekaman terkini membahas mengenai imunitas, bisa didengarkan di Spotify, Apple Podcast dan Google Podcast.

Salam sehat bermanfaat, 

Stephanie Esperansa, S. Ked; Rashmeeta, S. Ked 

Dr. dr. Stevent Sumantri, DAA, SpPD, K-AI 

Referensi 

1.  Warrington R, Silviu-Dan F, Wong T. Drug allergy. Allergy, Asthma Clin Immunol [Internet]. 2018;14(s2):1–11. Available from: https://doi.org/10.1186/s13223-018-0289-y 

2.  Abrams EM, Khan DA. Diagnosing and managing drug allergy. Cmaj. 2018;190(17):E532–8.  

3.  Yun J, Cai F, Lee FJ, Pichler WJ. T-cell-mediated drug hypersensitivity: Immune mechanisms and their clinical relevance. Asia Pac Allergy. 2016;6(2):77–89.  

4.  Sousa-Pinto B, Fonseca JA, Gomes ER. Frequency of self-reported drug allergy: A systematic review and meta-analysis with meta-regression. Ann Allergy, Asthma Immunol [Internet]. 2017;119(4):362-373.e2. Available from: https://doi.org/10.1016/j.anai.2017.07.009 

5.  Schrijvers R, Gilissen L, Chiriac AM, Demoly P. Pathogenesis and diagnosis of delayed-type drug hypersensitivity reactions, from bedside to bench and back. Clin Transl Allergy. 2015;5(1):1–10.  

6.  Wheatley LM, Plaut M, Schwaninger JM, Banerji A, Castells M, Finkelman FD, et al. Report from the National Institute of Allergy and Infectious Diseases workshop on drug allergy. J Allergy Clin Immunol [Internet]. 2015;136(2):262-271.e2. Available from: http://dx.doi.org/10.1016/j.jaci.2015.05.027