Reaksi simpang obat atau Adverse Drug Reactions (ARDs) adalah reaksi yang berbahaya atau tidak diinginkan terhadap respon pemakaian obat dan dosis sesuai anjuran untuk keperluan pencegahan, diagnosis, maupun terapi.1 Reaksi simpang obat diklasifikasikan menjadi 2 yaitu reaksi tipe A dan tipe B. Tipe A adalah reaksi yang dapat diprediksi dan dapat terjadi pada siapa saja, sedangkan reaksi tipe B adalah reaksi yang tidak dapat diprediksi dan tidak bergantung pada dosis.1,2  

Alergi obat merupakan salah satu jenis reaksi simpang obat yang tidak dapat diprediksi (tipe B) yang terjadi melalui reaksi antibodi yaitu Immunoglobulin E (IgE) atau reaksi hipersensitivitas dengan berbagai mekanisme dan presentasi klinis.1 Faktor resiko terjadinya alergi obat dibagi menjadi dua yaitu faktor pasien dan faktor obat. Faktor pasien adalah umur, jenis kelamin, polimorfisme genetik, infeksi virus (HIV, virus herpes), dan reaksi terhadap obat sebelumnya. Sedangkan faktor obat adalah berat molekul obat dan hapten-forming drugs lebih imunogenik, rute administrasi seperti topical, intravena dan intramuskular lebih sering menyebabkan reaksi alergi dibandingkan administrasi secara oral. Selain itu, dosis obat dengan frekuensi tinggi dan dikonsumsi dalam jangka waktu yang panjang dapat menyebabkan reaksi hipersensitivitas lebih besar daripada dosis tunggal. Manifestasi klinis yang dapat timbul pada alergi obat adalah biduran, rinitis, konjungtivitis, sesak napas, gejala gastrointestinal (mual, muntah, diare) hingga reaksi anafilaksis.1,3 

Langkah awal yang dapat diambil dalam tatalaksana alergi obat adalah menghindari atau menghentikan pemakaian obat yang dicurigai menimbulkan rekasi.1 Bila tidak dapat diberhentikan, pasien dapat diberikan obat yang diperlukan saja dengan kemungkinan paling kecil untuk menimbulkan reaksi alergi. Dapat juga diberikan obat lain dengan struktur kimiawi yang berbeda. Selanjutnya, terapi tambahan untuk reaksi hipersensitivitas terhadap obat bersifat simtomatik dan suportif. Terapi simtomatik bergantung kepada berat ringannya reaksi alergi obat pasien. Pasien dengan keluhan gejala ringan dapat hilang sendiri setelah obat dihentikan. Pada pasien dengan gejala kulit seperti biduran dan gatal dapat diberikan antihistamin yaitu loratadine 1×10 mg.1,4 Gejala yang lebih berat seperti vaskulitis, kelainan darah, hati, nefirtis interstitial diperlukan pemberian kortikosteroid dosis tinggi.1 Reraksi alergi obat pada keadaan anafilaksis dapat diberikan injeksi epinefrin secara intramuskular atau intravena. Pemberian epinefrin pertama diberikan 0.01 ml/kg BB sampai mencapai maksimal 0,3 ml subkutan dan diberikan setiap 15-20 menit sampai 3-4 kali.5 

Diskusi lanjut dengan Dokter Imun

Jadwal konsultasi praktek Dr. dr. Stevent Sumantri, DAA, SpPD, K-AI dapat dilihat pada link ini. Untuk informasi lebih lanjut, bisa komentar dan bertanya di kolom diskusi dibawah ini, atau isi form kontak untuk berdiskusi via email kepada Dr. dr. Stevent Sumantri, DAA, SpPD, K-AI secara langsung. Follow akun twitter saya di @dokterimun_id, Instagram di @dokterimun.id atau facebook page di Dokter Imun untuk mendapatkan informasi terbaru dan berdiskusi tentang masalah autoimun, alergi, asma, HIV-AIDS dan vaksinasi dewasa. Jangan lupa juga dengarkan podcast Bina Imun untuk mendengarkan rekaman terkini membahas mengenai imunitas, bisa didengarkan di Spotify, Apple Podcast dan Google Podcast.

Salam sehat bermanfaat, 

Elizabeth Gwendelyn Rotua, S. Ked; Rashmeeta, S. Ked 

Dr. dr. Stevent Sumantri, DAA, SpPD, K-AI 

Referensi 

  1. Warrington R, Silviu-Dan F, Wong T. Drug Allergy. Allergy, Asthma & Clinical Immunology. 2018;14(S2). 
  1. Iasella C, Johnson H, Dunn M. Adverse Drug Reactions Type A (Intrinsic) or Type B (Idiosyncratic). Clinical Liver Disease. 2016 
  1. Demoly P, Adkinson N, Brockow K, Castells M, Chiriac A, Grerenbeger P et al. International Consensus on drug allergy. Allergy 2014;69(4):420-437. 
  1. Randall K, Hawkins C. Antihistamines and allergy. Australian Prerscriber. 2018;41(2):42-45 
  1. Kemp S, Lockey R, Simons F. Epinephrine: the drug of choice for anaphylaxis. A statement of the World Allergy Organization. Allergy. 2008;63(8):1061-1070.