Penyakit seliak adalah kelainan autoimun akibat respon abnormal dari sistem imun terhadap produk makanan yang mengandung gluten pada orang yang beresiko. Setelah konsumsi produk gluten, antibodi akan menyerang dinding usus halus sehingga terjadi peradangan dan kesulitan penyerapan nutrisi. Gejala klasik penyakit seliak umumnya ditemukan pada bayi (< 2 tahun), yaitu berupa diare, tinja berlemak yang mengambang, penurunan berat badan, kelemahan, otot mengecil, dan keterlambatan pertumbuhan. Sedangkan pada orang dewasa kebanyakan tidak bergejala atau berupa gejala tidak spesifik, seperti lemas, anemia, kekurangan zat besi & folat, keterlambatan pubertas, tidak menstruasi, dan berkurangnya kesuburan. Untuk diagnosis pasti penyakit ini, perlu dilakukan endoskopi disertai dengan pengambilan sel dari saluran pencernaan yang mana nantinya sel ini akan dilihat di bawah mikroskop. Jika terdapat gambaran khas dari penyakit seliak, maka dapat dipastikan adanya penyakit seliak.1 Selain itu, bisa juga dilakukan pemeriksaan antibodi terhadap gluten yang terdapat dalam darah. Pemeriksaan ini memiliki kemampuan sangat tinggi untuk mendeteksi penyakit seliak, yaitu sebesar 98%.2 Sebagai tambahan bisa dilakukan pemeriksaan tinja, pada orang dengan penyakit seliak, dapat ditemukan tinja berwarna pucat dan berlemak. Sedangkan pada pemeriksaan darah, dapat ditemukan penurunan zat besi, asam folat, vitamin B12, protein, zat pembekuan darah, dan kalsium. Pada pemeriksaan densitas tulang dapat ditemukan penurunan kepadatan tulang.3 

Penyakit seliak dipengaruhi oleh banyak faktor, yaitu faktor lingkungan dan genetik. Walaupun terdapat 30-45% orang Amerika yang mempunyai faktor genetik untuk terkena penyakit seliak, hanya 1% dari populasi yang yang akhirnya mempunyai penyakit tersebut. Hal ini membuat dilakukannya penelitian untuk mengidentifikasi faktor lain yang mencetuskan awitan atau pun meningkatkan resiko terjadinya penyakit seliak. Berdasarkan penelitian, ditemukan bahwa infeksi adenovirus, enterovirus, virus hepatitis C, dan rotavirus dapat mencetuskan terjadinya penyakit seliak. Faktor resiko lainnya, yaitu pengenalan lebih awal dan dalam jumlah besar dari gluten setelah dihentikannya pemberian air susu ibu. Oleh karena itu, kita perlu menghindari faktor-faktor tersebut untuk mencegah terjadinya penyakit seliak.4,5 

Penyembuban penyakit seliak dilakukan dengan menghindari makanan yang mengandung gluten dan konsumsi suplemen sesuai dengan kekurangan zat dalam tubuh. Selain itu, jika terdapat diare dan tinja berlemak, perlu dibatasi juga konsumsi laktosa. Setelah 12 bulan, dapat dilakukan pemeriksaan antibodi di dalam darah. Seharusnya antibodi ini sudah menghilang sama sekali.3 

Pencegahan kekambuhan penyakit seliak dapat dilakukan dengan menghindari gluten. Gluten adalah protein yang terdapat pada padi-padian dan serealia, seperti gandum, jelai (barley), dan gandum hitam (rye). Sedangkan beras, jagung, kentang, dan kedelai aman untuk dikonsumsi. Konsumsi oat dalam jumlah sedang (50 g/hari) dapat ditoleransi dengan baik oleh pasien seliak, tetapi beberapa merek oat yang tersedia secara komersial mungkin terkontaminasi dengan gandum dan biji-bijian sereal lainnya selama pemrosesan dan pengiriman.  Oleh karena itu, setidaknya pada tahap awal, orang dengan penyakit seliak perlu menghindari oat kecuali diperoleh dari sumber terpercaya yang diketahui menyediakan oat yang bebas dari biji-bijian sereal lain yang mencemari. Meskipun penerapan diet bebas gluten terdengar sederhana, sebenarnya tidak.  Gluten juga terdapat pada berbagai makanan olahan seperti es krim, saus, dan permen.  Misalnya, aditif yang terdengar tidak berbahaya seperti “protein nabati terhidrolisis” sering kali berasal dari gandum dan karena itu mungkin kaya akan gluten.  Oleh karena itu, konseling oleh ahli gizi dan dokter yang berpengetahuan serta partisipasi dalam kelompok pendukung awam penyakit seliak lokal adalah aspek penting dalam edukasi pasien seliak dan dapat memfasilitasi kepatuhan diet jangka panjang.3 

Diskusi lanjut dengan Dokter Imun

Jadwal konsultasi praktek Dr. dr. Stevent Sumantri, DAA, SpPD, K-AI dapat dilihat pada link ini. Untuk informasi lebih lanjut, bisa komentar dan bertanya di kolom diskusi dibawah ini, atau isi form kontak untuk berdiskusi via email kepada Dr. dr. Stevent Sumantri, DAA, SpPD, K-AI secara langsung. Follow akun twitter saya di @dokterimun_id, Instagram di @dokterimun.id atau facebook page di Dokter Imun untuk mendapatkan informasi terbaru dan berdiskusi tentang masalah autoimun, alergi, asma, HIV-AIDS dan vaksinasi dewasa. Jangan lupa juga dengarkan podcast Bina Imun untuk mendengarkan rekaman terkini membahas mengenai imunitas, bisa didengarkan di Spotify, Apple Podcast dan Google Podcast.

Salam sehat bermanfaat, 

Irene Kurnia, S. Ked; Rashmeeta, S. Ked 

Dr. dr. Stevent Sumantri, DAA, SpPD, K-AI 

Referensi 

1. Parzanese I, Qehajaj D, Patrinicola F, Aralica M, Chiriva-Internati M, Stifter S, et al. Celiac disease: From pathophysiology to treatment. World J Gastrointest Pathophysiol [Internet]. 2017;8(2):27. Available from: http://www.wjgnet.com/2150-5330/full/v8/i2/27.htm&nbsp;

2. Papadakis MA, McPhee SJ, Rabow M. Quick Medical Diagnosis & Treatment 2021. New York: McGraw Hill; 2021.  

3. Greenberger N, Blumberg R, Burakoff R. CURRENT Diagnosis & Treatment: Gastroenterology, Hepatology, & Endoscopy. 3rd ed. New York: McGraw-Hill Education; 2021. 656 p.  

4. Brown JJ, Jabri B, Dermody TS. A viral trigger for celiac disease. Condit RC, editor. PLOS Pathog [Internet]. 2018 Sep 20;14(9):e1007181. Available from: https://dx.plos.org/10.1371/journal.ppat.1007181&nbsp;

5. Riddle MS, Murray JA, Porter CK. The Incidence and Risk of Celiac Disease in a Healthy US Adult Population. Am J Gastroenterol [Internet]. 2012 Aug;107(8):1248–55. Available from: https://journals.lww.com/00000434-201208000-00020&nbsp;