Reaksi anafilaksis merupakan reaksi hipersensitivitas sistem yang mengancam jiwa terhadap kontak dengan alergen, reaksi akan muncul dalam beberapa detik sampai menit setelah terpapar dengan alergen tersebut. Manifestasi termasuk gangguan pernapasan, gatal berlebih, biduran, pembengkakan selaput mukosa, gangguan pada sistem pencernaan (termasuk mual, muntah, sakit perut, dan diare) dan kegagalan pada sistem pendarahan.  1

Data anafilaksis di Indonesia masih sangat terbatas tetap insiden anafilaksis secara global terjadi antara 50 dan 112 episode per 100.000 orang setiap tahun sementara perkiraan prevalensi terjadi anafilaksis dalam seumur hidup seseorang adalah 0.3-5.1%. Pada anak-anak, kejadian anafilaksis berkisar antara 1 hingga 761 per 100.000 anak-anak per tahun. Data yang mengkhawatirkan menunjukkan bahwa kekambuhan reaksi terjadi pada 26.5-54% pasien yang sudah pernah mengalami anafilaksis sebelumnya dalam kurun waktu 1.5-25 tahun. Tetapi salah satu kabar baik adalah mortalitas untuk anafilaksis sendiri masih rendah diperkirakan 0.05-0.51 per juta orang setiap tahunnya untuk reaksi terhadap obat-obatan, 0.03-0.32 untuk makanan dan 0.09-0.13 untuk anafilaksis yang diinduksi oleh racun. Tetapi menurut studi yang telah dilakukan alergi hebat terhadap makanan, sengatan lebah, dan obat-obatan tertentu yang paling sering dihubungkan dengan anafilaksis. 2

Kontributor terbesar untuk terjadinya anafilaksis adalah reaksi hipersensitivitas berat terhadap makanan. Pada anak-anak makanan yang paling sering menyebabkan alergi adalah telur, susu sapi, tepung dan terigu, kacang-kacangan. Pada orang dewasa, anafilaksis yang diinduksi makanan bervariasi tergantung pada wilayah dan paparan makanan lokal. Kacang-kacangan mendominasi pencetus anafilaksis akibatan makanan pada orang dewasa di Amerika Utara dan Australia; sedangkan makanan seafood yang memiliki cangkang (seperti udang dan kepiting) sering menjadi penyebab anafilaksis di Asia. Sedangkan alergen makanan yang sering di Eropa adalah makanan yang mengandung nabati. 2

Untuk penanganan pasien dengan reaksi anafilaksis akut adalah pemberian obat injeksi epinefrin, tetapi terapi jangka panjang akan dibutuhkan untuk mencegah kekambuhan karena reaksi anafilaksis sangat berbahaya jika tidak ditangani secepatnya. Salah satu strategi yang paling bermanfaat adalah untuk menghindari pencetus anafilaksis itu sendiri. Kemudian untuk menhindari makanan yang dapat memicu inflamasi seperti tegung dan terigu (roti, dan mie olahan), makanan olahan yang mengandung kadar gula yang sangat tinggi, dan makanan dari susu sapi (keju, susu sapi). Lalu, makanan yang tinggi akan kadar histamin dapat meningkatkan probablitas terjadi reaksi alergi seperti telur, avocado, bayam, kacang-kacangan, dan kiwi.  3 Terakhir, tidak kalah pentingnya untuk mengetahui makanan yang bermanfaat untuk penderita reaksi anafilaksis seperti berikut:

  1. Omega-3

Studi yang dilakukan pada tahun 2018, menunjukkan bahwa ada hubungan antara Omega-3 dengan penurunan reaksi alergi di dalam tubuh. Riset ini menunjukkan bahwa asam lemak pada ikan terutama pada salmon membantu mengurangi penyempitan dalam saluran pernapasan yang terjadi pada reaksi alergi. Makanan yang tinggi akan Omega-3 adalah salmon, tuna, dan sardine. 4

  • Jahe

Selama ribuan tahun, jahe telah digunakan sebagai obat alami untuk berbagai masalah kesehatan, seperti mual dan nyeri sendi. Jahe juga kaya dengan antioksidan, yang mempunyai properti anti-inflamasi. Sekarang, studi sedang mengeksplorasi bagaimana peran jahe bermain untuk mengurangi inflamasi di dalam tubuh. Pada salah satu studi, jahe terbukti menekan produksi protein pro-inflamasi dalam darah tikus, yang menyebabkan gejala alergi kurang. 5

  • Serbuk sari lebah (Bee Pollen)

Penelitian menunjukkan bahwa bee pollen memiliki sifat anti-inflamasi, anti-jamur dan antimikroba di dalam tubuh. Dalam satu penilitian pada hewan, bee pollen menghambat aktivasi sel mast, salah satu langkah penting dalam mencegah reaksi alergi. 6

  • Quercetin

Makanan yang mengandung kadar quercetin yang tinggi seperti bawang, apel, teh hijau, dan buah beri yang berperan sebagai antihistamin natural yang dapat mengurangi gejala-gejala alergi dengan stimulasi sistem imun, menghambat produksi histamin, dan mengurangi sel-sel inflamasi. 7

  • Vitamin D

Penelitian menunjukkan bahwa vitamin D dapat mengaktifkan sel-sel imun yang mencegah pelepesan sel-sel inflamasi yang dapat menyebabkan dan memperburuk penyakit alergi. Untuk mendapatkan Vitamin D dapat dengan cara terpapar sinar matahari 07.00-09.00 dan 15.00-18.00, meminum suplemen, dan juga makanan yang kaya dengan Vitamin D seperti ikan salmon, daging merah, dan minyak ikan. 8

Diskusi lanjut dengan Dokter Imun

Jadwal konsultasi praktek Dr. dr. Stevent Sumantri, DAA, SpPD, K-AI dapat dilihat pada link ini. Untuk informasi lebih lanjut, bisa komentar dan bertanya di kolom diskusi dibawah ini, atau isi form kontak untuk berdiskusi via email kepada Dr. dr. Stevent Sumantri, DAA, SpPD, K-AI secara langsung. Follow akun twitter saya di @dokterimun_id, Instagram di @dokterimun.id atau facebook page di Dokter Imun untuk mendapatkan informasi terbaru dan berdiskusi tentang masalah autoimun, alergi, asma, HIV-AIDS dan vaksinasi dewasa. Jangan lupa juga dengarkan podcast Bina Imun untuk mendengarkan rekaman terkini membahas mengenai imunitas, bisa didengarkan di Spotify, Apple Podcast dan Google Podcast.

Salam sehat bermanfaat,

Lourdes Joanna Kusumadi, S.Ked; dr. Rashmeeta

Dr. dr. Stevent Sumantri, DAA, Sp.PD, K-AI

Referensi

  1. Kasper, D., Fauci, A., Hauser, S., Longo, D., Lameson, J. L., & Loscalzo, J. (n.d.). Anaphylaxis. In Harrison’s Manual of Medicine (p. 114).
  2. Cardona, V., Ansotegui, I. J., Ebisawa, M., El-Gamal, Y., Fernandez Rivas, M., Fineman, S., Geller, M., Gonzalez-Estrada, A., Greenberger, P. A., Sanchez Borges, M., Senna, G., Sheikh, A., Tanno, L. K., Thong, B. Y., Turner, P. J., & Worm, M. (2020). World Allergy Organization Anaphylaxis Guidance 2020. World Allergy Organization Journal, 13(10), 100472. https://doi.org/10.1016/J.WAOJOU.2020.100472
  3. Comas-Basté, O., Sánchez-Pérez, S., Veciana-Nogués, M. T., Latorre-Moratalla, M., & Vidal-Carou, M. D. C. (2020). Histamine Intolerance: The Current State of the Art. Biomolecules, 10(8), 1–26. https://doi.org/10.3390/BIOM10081181
  4. Adams, S., Lopata, A. L., Smuts, C. M., Baatjies, R., & Jeebhay, M. F. (2019). Relationship between Serum Omega-3 Fatty Acid and Asthma Endpoints. International Journal of Environmental Research and Public Health, 16(1). https://doi.org/10.3390/IJERPH16010043
  5. Kawamoto, Y., Ueno, Y., Nakahashi, E., Obayashi, M., Sugihara, K., Qiao, S., Iida, M., Kumasaka, M. Y., Yajima, I., Goto, Y., Ohgami, N., Kato, M., & Takeda, K. (2016). Prevention of allergic rhinitis by ginger and the molecular basis of immunosuppression by 6-gingerol through T cell inactivation. The Journal of Nutritional Biochemistry, 27, 112–122. https://doi.org/10.1016/J.JNUTBIO.2015.08.025
  6. Pascoal, A., Rodrigues, S., Teixeira, A., Feás, X., & Estevinho, L. M. (2014). Biological activities of commercial bee pollens: antimicrobial, antimutagenic, antioxidant and anti-inflammatory. Food and Chemical Toxicology : An International Journal Published for the British Industrial Biological Research Association, 63, 233–239. https://doi.org/10.1016/J.FCT.2013.11.010
  7. Mlcek, J., Jurikova, T., Skrovankova, S., & Sochor, J. (2016). Quercetin and Its Anti-Allergic Immune Response. Molecules (Basel, Switzerland), 21(5). https://doi.org/10.3390/MOLECULES21050623
  8. Mirzakhani, H., Al-Garawi, A., Weiss, S. T., & Litonjua, A. A. (2015). Vitamin D and the development of allergic disease: how important is it? Clinical & Experimental Allergy, 45(1), 114–125. https://doi.org/10.1111/CEA.12430