Reaksi anafilaksis merupakan suatu reaksi alergi sistemik akut dengan onset yang cepat dan bersifat membahayakan. Reaksi anafilaksis ini memiliki berbagai mekanisme dan manifestasi klinis yang berbeda-beda. Pasien dengan riwayat reaksi anafilaksis, harus berhati-hati dalam memilih makanan atau obat-obatan yang dapat dikonsumsi, aktivitas fisik yang dapat dilakukan, hingga menghindari berbagai allergen yang dapat memicu timbulnya atau teraktivasinya reaksi anafilaksis.1
Reaksi anafilaksis dapat timbul dengan sangat cepat, biasanya dalam hitungan menit atau jam setelah penderita konsumsi, menghirup atau terpapar dengan allergen. Awalnya, mungkin reaksi anafilaksis terlihat seperti reaksi allergi biasa, namun akan bertambah parah dalam waktu yang sangat singkat. Beberapa gelaja yang dapat muncul saat mengalami reaksi anafilaksis adalah: (1) muncul ruam seperti biduran dan terasa gatal, (2) kesulitan bernafas dan sesak nafas, (3) Denyut nadi yang terasa lebih cepat namun terasa lemah, serta (4) tekanan darah yang menurun secara drastis.1
Reaksi anafilaksis bukan merupakan suatu masalah yang dapat dipandang sebelah mata, karena reaksi ini dapat membahayakan tubuh pasien. Epinefrin atau adrenalin merupakan pengobatan lini pertama untuk mengatasi reaksi anafilaksis. Reaksi anafilaksis yang tidak mendapatkan penanganan yang tepat dapat membahayakan nyawa seseorang.2 Epinefrin juga dapat digunakan dalam tindakan resusitasi jantung paru.3
Epinefrin bekerja dengan melemaskan otot-otot saluran pernafasan serta meningkatkan tegangan pada pembuluh darah. Obat ini bekerja dengan cepat untuk memicu kerja jantung, meningkatkan tekanan darah, membuka jalur nafas, meredakan ruam dan mengurangi pembengkakan di wajah, bibir serta tenggorokan.4
Dosis epinefrin yang diberikan untuk dewasa serta anak-anak untuk menangani reaksi anafilaksis adalah: pada dewasa diberikan dengan dosis 0,5 mg, yang diberikan secara suntikan otot ataupun dengan secara suntikan pembuluh darah, dapat diulang dalam waktu 5 menit jika tidak menunjukkan adanya perbaikan, hingga kondisi membaik. Pada anak-anak diberikan dosis 0,01 mg/kgBB diberikan melalui suntikkan otot atau diberikan secara suntikan di pembuluh darah.5
Tentu saja setiap pengobatan yang di gunakan ada kemungkinan untuk menimbulkan efek samping yang tidak diingkan, walaupun seringnya pengobatan yang di gunakan tidak menyebabkan efek samping apapun. Epinefrin pun demikian. Kemungkinan efek samping yang dapat timbul akibat penggunaan Epinefrin dapat dibagi menjadi per sistem di dalam tubuh yang terdiri atas sistem saraf pusat, kardiovaskular, kulit, endokrin, sistem pencernaan, neuromuscular, ginjal dan sistem pernafasan.6 Efek samping yang ditimbulkan pada (1) sistem saraf pusat adalah adanya kecemasan, pusing, agitasi, nyeri kepala, Parkinson’s disease; (2) sistem kardiovaskular: aritmia, nyeri dada, hipertensi, palpitasi, berdebar-debar; (3) kulit : luka pada tempat injeksi; (4) sistem endokrin : meningkatnya gula darah; (5) sistem pencernaan : mual muntah; (6) sistem neuromuskular : tremor dan kelemahan dan (7) sistem pernafasan : sesak nafas.7 Dari semua kemungkinan efek samping dari penggunaan epinefrin, efek samping yang lebih sering muncul adalah berdebar-debar, hipertensi, nyeri kepala, kecemasan, palpitasi, keringat yang berlebih, mual muntah, kelemahan dan tremor.6,7
Karena penggunaan Epinefrin dapat menimbulkan efek samping, maka diperlukan untuk melakukan pemantauan. Jika dengan penggunaan Epinefrin lalu mengalami efek samping seperti jantung berdebar-debar, hipertensi, nyeri kepala, lemas, sakit kepala, tremor, segera beritahu kepada dokter jika keluhan tersebut tidak kunjung membaik atau cenderung mengalami perburukan. Efek samping yang lebih serius dari penggunaan Epinefrin dapat menyebabkan pingsan serta kejang.
Yang terutama, pada penanganan reaksi anafilaksis harus diperhatikan 2 hal yang paling penting, yaitu, yang pertama sistem pernafasan yang lancer supaya oksigenasi berjalan dengan baik, lalu, sistem kardiovaskular harus selalu diperhatikan supaya suplai oksigen kepada jaringan memadai. Hal ini harus diperhatikan karena penyebab kematian terbesar dari reaksi anafilaksis adalah kegagalan pada kedua sistem organ ini.1 Pemberian Epinefrin dapat membantu melancarkan jalan kedua sistem organ ini sehingga penyebab kematian terbesar dari reaksi anafilaksis dapat dihindari.

Diskusi lanjut dengan Dokter Imun
Jadwal konsultasi praktek Dr. dr. Stevent Sumantri, DAA, SpPD, K-AI dapat dilihat pada link ini. Untuk informasi lebih lanjut, bisa komentar dan bertanya di kolom diskusi dibawah ini, atau isi form kontak untuk berdiskusi via email kepada Dr. dr. Stevent Sumantri, DAA, SpPD, K-AI secara langsung. Follow akun twitter saya di @dokterimun_id, Instagram di @dokterimun.id atau facebook page di Dokter Imun untuk mendapatkan informasi terbaru dan berdiskusi tentang masalah autoimun, alergi, asma, HIV-AIDS dan vaksinasi dewasa. Jangan lupa juga dengarkan podcast Bina Imun untuk mendengarkan rekaman terkini membahas mengenai imunitas, bisa didengarkan di Spotify, Apple Podcast dan Google Podcast.
Salam sehat bermanfaat,
Theovint Nathaniel, S.Ked; dr. Rashmeeta
Dr. dr. Stevent Sumantri, DAA, SpPD, K-AI
Referensi
- Fischer D, Leek TKV, Ellis AK, Kim H. Anaphylaxis. Allergy Asthma Clin Immunol. 2018;14(2):54.
- Goodall N. Guideline review: Epinephrine use in anaphylaxis (AAP guideline 2017). Archives of disease in childhood – Education & practice edition. 2018;:edpract-2017-314592.
- Lee J, Jung J, Lee H, Kim D, Kwak Y, Chang I et al. Efficacy of low-dose nebulized epinephrine as treatment for croup: A randomized, placebo-controlled, double-blind trial. The American Journal of Emergency Medicine. 2019;37(12):2171-2176.
- Brown J, Simons E, Rudders S. Epinephrine in the Management of Anaphylaxis. The Journal of Allergy and Clinical Immunology: In Practice. 2020;8(4):1186-1195.
- Cardona V, Ansotegui I, Ebisawa M, El-Gamal Y, Fernandez Rivas M, Fineman S et al. World Allergy Organization Anaphylaxis Guidance 2020. World Allergy Organization Journal. 2020;13(10):100472.
- Lyng J, White C, Peterson T, Lako-Adamson H, Goodloe J, Dailey M et al. Non-Auto-Injector Epinephrine Administration by Basic Life Support Providers: A Literature Review and Consensus Process. Prehospital Emergency Care. 2019;23(6):855-861.
- Dünser M, Hasibeder W. Sympathetic Overstimulation During Critical Illness: Adverse Effects of Adrenergic Stress. Journal of Intensive Care Medicine. 2009;24(5):293-316.